Cerita has posted a new item, 'Dua Wajah Ibu'
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas
ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan
merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia
menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya.
Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu.
Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan
kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk
rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di
pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan
televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala
hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya,
menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang
besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi
bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet
tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di
rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan
macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya
pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di
belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih
sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar
lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan
matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak
pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap
diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan
begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan
kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun
gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba
manis, serba tak bisa ia bayangkan.
"Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan
mirip almarhum Ebak," itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara
anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat
mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
"Dengan siapa Mak ke situ?" lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika
di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia
ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia
selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia
miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah,
merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika
petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
"Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak
dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan
ongkos Emak ke sini," itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri
pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak
lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta,
di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air
berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi
terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya
itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika
membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian
menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja
mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium
melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas
di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong,
beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat,
berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening
dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak
menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki
kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya
itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya.
Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia
menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu
setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang
masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti
mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang
mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut,
bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya
melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu.
Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
"Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang,
karet pun sayang tak disadap," lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan
lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh
baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari,
saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa
yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi
kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
"Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak
bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan
mutar Jakarta," ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan
singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara.
Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
"Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti
kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak
Rifah," terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang
menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah
dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu
menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu
dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak
Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi
dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini
hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti
itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak
Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak
karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang
meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau
menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang
berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai
semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut,
menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah
pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan
Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk
mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin
lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang
membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap
huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak
Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet
yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang
kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas
cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak
Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia
masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah
bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang
sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip
macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas
ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat
lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun
kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam
benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang
melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak
bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja.
Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci
rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena
seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak
Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas
sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya
dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun
hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah
keriput, mengkerut, dan carut-marut.
About these ads
You may view the latest post at
http://cerita.biz/dua-wajah-ibu-2/
Best regards,
Cerita
http://cerita.biz
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas
ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan
merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia
menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya.
Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu.
Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan
kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk
rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di
pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan
televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala
hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya,
menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang
besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi
bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet
tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di
rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan
macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya
pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di
belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih
sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar
lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan
matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak
pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap
diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan
begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan
kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun
gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba
manis, serba tak bisa ia bayangkan.
"Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan
mirip almarhum Ebak," itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara
anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat
mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
"Dengan siapa Mak ke situ?" lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika
di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia
ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia
selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia
miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah,
merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika
petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
"Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak
dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan
ongkos Emak ke sini," itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri
pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak
lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta,
di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air
berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi
terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya
itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika
membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian
menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja
mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium
melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas
di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong,
beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat,
berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening
dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak
menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki
kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya
itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya.
Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia
menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu
setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang
masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti
mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang
mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut,
bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya
melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu.
Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
"Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang,
karet pun sayang tak disadap," lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan
lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh
baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari,
saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa
yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi
kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
"Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak
bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan
mutar Jakarta," ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan
singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara.
Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
"Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti
kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak
Rifah," terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang
menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah
dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu
menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu
dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak
Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi
dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini
hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti
itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak
Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak
karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang
meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau
menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang
berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai
semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut,
menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah
pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan
Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk
mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin
lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang
membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap
huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak
Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet
yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang
kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas
cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak
Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia
masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah
bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang
sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip
macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas
ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat
lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun
kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam
benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang
melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak
bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja.
Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci
rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena
seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak
Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas
sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya
dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun
hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah
keriput, mengkerut, dan carut-marut.
About these ads
You may view the latest post at
http://cerita.biz/dua-wajah-ibu-2/
Best regards,
Cerita
http://cerita.biz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar