Cerita has posted a new item, 'Cinta dalam Kardus dan Ide Orisinal Sebuah Film'
Poster Cinta dalam Kardus (www.kompasiana.com/roelly87)
Ide orisinal, properti unik yang hampir semuanya diset dari kardus, dan isi
cerita bikin penasaran. Itulah yang bisa saya simpulkan usai menyaksikan
pemutaran perdana Cinta dalam Kardus (CdK) bersama beberapa rekan Kompasianer di
Platinum XXI, FX Mal, Jakarta, Sabtu (8/6). Film yang dibintangi blogger kawakan
sekaligus aktor serbabisaRaditya Dika, berperan sebagai Miko ini bak oase di
tengah lesunya perfilman Indonesia.
Selain didukung beberapa pemain yang sudah mempunyai nama seperti Lukman Sardi
(Ayah Miko), Anizabella Lesmana (Putri - pacar Miko), dan Tina Toon (Kirana -
mantan Miko). Bagi saya, keunggulan CdK juga berkat Salman Aristo yang berada di
balik layar.
Ya, sutradara yang sebelumnya kondang sebagai penulis skenario Laskar Pelangi,
Ayat-ayat Cinta, dan tentunya film favorit saya, Sang Penari. Salman mampu
mempersembahkan jalinan cerita yang membuat (calon) penonton berdecak kagum saat
dirilis pada 13 Juni mendatang.
Apalagi,Raditya Dika sangat full dalammemerankan sosok Miko, yang baru mengalami
masalah asmaranya bersama Putri. Kegalauan pria berusia 25 tahun itu dalam dua
minggu terakhir bersama Putri, membuatnya mencoba untuk mengalihkan dengan
mengikuti Stand up Comedy.
Hanya, upaya tersebut tidak berhasil, karena pikiran Miko malah tambah rumit.
Itu karena dia masih dilema dengan kardus yang berisi 21 barang peninggalan
mantan gebetan-nya akibat belum dibuang pembantunya, Mas Anca hingga terbawa ke
kafe tempatnya memulai Stand up Comedy. Alhasil, di atas panggung, bukannya
menghibur pengunjung kafe tempatStand up Comedy, Miko malah bernostalgia dengan
membeberkan kisah asmara bersama ke-20 mantannya.
Lalu, bagaimana akhir kisah Miko dengan Putri? Apakah hubungan mereka tetap
langgeng, atau justru terkena dampak sindrom BTB (Berubah Tidak Baik) yang
membuat Miko harus menyadari bahwa menjalin suatu hubungan itu, tidak harus
selalu lurus.
Mungkin, lebih mengasyikkan jika kita harus menontonnya langsung 13 Juni
mendatang saat film ini resmi dirilis.
* * *
Ketika menyaksikan sebagian cerita monolog ini yang bertempat di kafe, saya
merasa CdK seperti film Hollywood, semacam The Terminal atau Phone Booth. Ya,
The Terminal yang mengisahkan kebingungan Tom Hanks karena terjebak di sebuah
bandara akibat tidak diperbolehkan melangkah sedikit pun oleh pemerintah Amerika
Serikat. Serta Corin Farrel yang tidak bisa beranjak sedikit pun dari phone
booth (telepon umum) akibat diancam seorang pembunuh gelap.
Hanya, bagi saya film produksi KG Studio ini lebih istimewa. Sebab, meski
sebagian besar bercerita di kafe dan nostalgianya terhadap 20 barang peninggalan
mantan gebetan (tidak termasuk batu koral, dan ini menjadi klimaks cerita yang
membuat merinding), tapi mampu mengurai seluruh masalah yang selama ini
menghinggapi Miko. Salah satu yang berkesan ketika Miko menceritakan kisahnya
kepada dua remaja yang kebetulan duduk di kursi kafe paling depan dekat, Caca
dan Kipli.
Uniknya, kolaborasi Salman Aristo dan Raditya Dika mampu membuat improvisasi
terhadap peran Caca dan Kipli. Salah satunya ketika dua remaja itu disindir Miko
karena kerap mengucapkan panggilan Ayah dan Bunda terhadap satu sama lain
kendati baru berusia belasan tahun.
Meski sedikit ironis bila menyaksikan adegan tersebut, namun itu membuktikan CdK
mampu menerjemahkan apa yang terjadi pada remaja saat ini. Maklum, selain
panggilan Ayah-Bunda, banyak remaja atau anak sekolah yang merasa keren
memanggil pasangannya dengan sebutan Papi-Mami, Ayang-ayangan, beb, atau
lainnya. Sepele? Tapi, cukup menohok bagi kalangan orang tua yang mendengarnya.
Bagi saya, film ini tidak sekadar terjebak dalam kisah mengenai percintaan yang
klise, cerita dunia remaja yang kadang alay, atau komedi belaka. Melainkan, ide
cerita yang orisinal, dengan balutan kisah apik sampai saya tidak lupa dengan
semua adegannya meski sudah beberapa jam berlalu. CdK ini salah satunya bersama
Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Sang Penari, dan The Raid.
Sebab, sepanjang 2013 ini jarang ada film lokal (Indonesia) yang membuat saya
masih mengingatnya meski sudah sampai rumah. Bahkan, saya lebih sering lupa saat
film itu masih setengah babak dan malah sibuk menikmati pop corn dibanding
menatap ke layar.
* * *
Di sisi lain, sebagai blogger tentu saya harus menuliskannya secara objektif.
Pasalnya, sebagaimana film lokal lainnya, pada CdK ini (masih) banyak
kekurangan. Salah satunya mengenai penggunaan properti kardus yang terlalu
dominan meski film ini memang dengan jelas berjudul Cinta dalam Kardus! Itu
dapat dilihat ketika set peralatan band, orang-orangan, laptop, hingga telepon
genggam. Memang sih tidak terlalu mencolok, hanya terkesan janggal ketika ada
adegan Miko menelepon, mantan pacarnya mengangkat telepon genggam yang terbuat
dari kardus.
Selain itu, ada beberapa adegan yang terlalu dipaksakan, hingga mengurangi nilai
eksklusif dan orsinalitas CdK. Seperti yang terjadi pada adegan Teriakkan Cinta
yang terkesan bombastis dan norak dengan diiringi dayang-dayangnya. Lalu, ketika
pembantu Miko (Mas Anca) menghirup semprotan serangga hingga bukan menimbulkan
kesan lugu, yang ada malah aneh dan bikin janggal.
* * *
Sambutan dari Salman Aristo dan kru CdK lainnya
* * *
Salah satu adegan Miko dengan properti yang didominasi kardus
* * *
Beberapa rekan Kompasianer sebelum pemutaran film
* * *
Sebelumnya tentang film Indonesia:
- Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
- Serunya Menyaksikan Film Negeri 5 Menara
- Negeri 5 Menara, Film yang Membuat BJ Habibie Kagum
- #republiktwitter, Ketika Cinta Berasal dari Dunia Maya
-
* * *
- Jakarta, 8 Juni 2013
You may view the latest post at
http://cerita.biz/
Best regards,
Cerita
http://cerita.biz
Poster Cinta dalam Kardus (www.kompasiana.com/roelly87)
Ide orisinal, properti unik yang hampir semuanya diset dari kardus, dan isi
cerita bikin penasaran. Itulah yang bisa saya simpulkan usai menyaksikan
pemutaran perdana Cinta dalam Kardus (CdK) bersama beberapa rekan Kompasianer di
Platinum XXI, FX Mal, Jakarta, Sabtu (8/6). Film yang dibintangi blogger kawakan
sekaligus aktor serbabisaRaditya Dika, berperan sebagai Miko ini bak oase di
tengah lesunya perfilman Indonesia.
Selain didukung beberapa pemain yang sudah mempunyai nama seperti Lukman Sardi
(Ayah Miko), Anizabella Lesmana (Putri - pacar Miko), dan Tina Toon (Kirana -
mantan Miko). Bagi saya, keunggulan CdK juga berkat Salman Aristo yang berada di
balik layar.
Ya, sutradara yang sebelumnya kondang sebagai penulis skenario Laskar Pelangi,
Ayat-ayat Cinta, dan tentunya film favorit saya, Sang Penari. Salman mampu
mempersembahkan jalinan cerita yang membuat (calon) penonton berdecak kagum saat
dirilis pada 13 Juni mendatang.
Apalagi,Raditya Dika sangat full dalammemerankan sosok Miko, yang baru mengalami
masalah asmaranya bersama Putri. Kegalauan pria berusia 25 tahun itu dalam dua
minggu terakhir bersama Putri, membuatnya mencoba untuk mengalihkan dengan
mengikuti Stand up Comedy.
Hanya, upaya tersebut tidak berhasil, karena pikiran Miko malah tambah rumit.
Itu karena dia masih dilema dengan kardus yang berisi 21 barang peninggalan
mantan gebetan-nya akibat belum dibuang pembantunya, Mas Anca hingga terbawa ke
kafe tempatnya memulai Stand up Comedy. Alhasil, di atas panggung, bukannya
menghibur pengunjung kafe tempatStand up Comedy, Miko malah bernostalgia dengan
membeberkan kisah asmara bersama ke-20 mantannya.
Lalu, bagaimana akhir kisah Miko dengan Putri? Apakah hubungan mereka tetap
langgeng, atau justru terkena dampak sindrom BTB (Berubah Tidak Baik) yang
membuat Miko harus menyadari bahwa menjalin suatu hubungan itu, tidak harus
selalu lurus.
Mungkin, lebih mengasyikkan jika kita harus menontonnya langsung 13 Juni
mendatang saat film ini resmi dirilis.
* * *
Ketika menyaksikan sebagian cerita monolog ini yang bertempat di kafe, saya
merasa CdK seperti film Hollywood, semacam The Terminal atau Phone Booth. Ya,
The Terminal yang mengisahkan kebingungan Tom Hanks karena terjebak di sebuah
bandara akibat tidak diperbolehkan melangkah sedikit pun oleh pemerintah Amerika
Serikat. Serta Corin Farrel yang tidak bisa beranjak sedikit pun dari phone
booth (telepon umum) akibat diancam seorang pembunuh gelap.
Hanya, bagi saya film produksi KG Studio ini lebih istimewa. Sebab, meski
sebagian besar bercerita di kafe dan nostalgianya terhadap 20 barang peninggalan
mantan gebetan (tidak termasuk batu koral, dan ini menjadi klimaks cerita yang
membuat merinding), tapi mampu mengurai seluruh masalah yang selama ini
menghinggapi Miko. Salah satu yang berkesan ketika Miko menceritakan kisahnya
kepada dua remaja yang kebetulan duduk di kursi kafe paling depan dekat, Caca
dan Kipli.
Uniknya, kolaborasi Salman Aristo dan Raditya Dika mampu membuat improvisasi
terhadap peran Caca dan Kipli. Salah satunya ketika dua remaja itu disindir Miko
karena kerap mengucapkan panggilan Ayah dan Bunda terhadap satu sama lain
kendati baru berusia belasan tahun.
Meski sedikit ironis bila menyaksikan adegan tersebut, namun itu membuktikan CdK
mampu menerjemahkan apa yang terjadi pada remaja saat ini. Maklum, selain
panggilan Ayah-Bunda, banyak remaja atau anak sekolah yang merasa keren
memanggil pasangannya dengan sebutan Papi-Mami, Ayang-ayangan, beb, atau
lainnya. Sepele? Tapi, cukup menohok bagi kalangan orang tua yang mendengarnya.
Bagi saya, film ini tidak sekadar terjebak dalam kisah mengenai percintaan yang
klise, cerita dunia remaja yang kadang alay, atau komedi belaka. Melainkan, ide
cerita yang orisinal, dengan balutan kisah apik sampai saya tidak lupa dengan
semua adegannya meski sudah beberapa jam berlalu. CdK ini salah satunya bersama
Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Sang Penari, dan The Raid.
Sebab, sepanjang 2013 ini jarang ada film lokal (Indonesia) yang membuat saya
masih mengingatnya meski sudah sampai rumah. Bahkan, saya lebih sering lupa saat
film itu masih setengah babak dan malah sibuk menikmati pop corn dibanding
menatap ke layar.
* * *
Di sisi lain, sebagai blogger tentu saya harus menuliskannya secara objektif.
Pasalnya, sebagaimana film lokal lainnya, pada CdK ini (masih) banyak
kekurangan. Salah satunya mengenai penggunaan properti kardus yang terlalu
dominan meski film ini memang dengan jelas berjudul Cinta dalam Kardus! Itu
dapat dilihat ketika set peralatan band, orang-orangan, laptop, hingga telepon
genggam. Memang sih tidak terlalu mencolok, hanya terkesan janggal ketika ada
adegan Miko menelepon, mantan pacarnya mengangkat telepon genggam yang terbuat
dari kardus.
Selain itu, ada beberapa adegan yang terlalu dipaksakan, hingga mengurangi nilai
eksklusif dan orsinalitas CdK. Seperti yang terjadi pada adegan Teriakkan Cinta
yang terkesan bombastis dan norak dengan diiringi dayang-dayangnya. Lalu, ketika
pembantu Miko (Mas Anca) menghirup semprotan serangga hingga bukan menimbulkan
kesan lugu, yang ada malah aneh dan bikin janggal.
* * *
Sambutan dari Salman Aristo dan kru CdK lainnya
* * *
Salah satu adegan Miko dengan properti yang didominasi kardus
* * *
Beberapa rekan Kompasianer sebelum pemutaran film
* * *
Sebelumnya tentang film Indonesia:
- Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
- Serunya Menyaksikan Film Negeri 5 Menara
- Negeri 5 Menara, Film yang Membuat BJ Habibie Kagum
- #republiktwitter, Ketika Cinta Berasal dari Dunia Maya
-
* * *
- Jakarta, 8 Juni 2013
You may view the latest post at
http://cerita.biz/
Best regards,
Cerita
http://cerita.biz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar